Ia adalah seorang putra Persia yang berasal dari Kota Kabul. Kakeknya memeluk Islam di masa Umar bin Khattab ra, lalu hijrah dan menetap di Kufah. Ia lahir di tahun 80H dengan nama lahirnya Nu’man bin Tsabit yang mungkin lebih kita kenal dengan Abu Hanifah.

Abu Hanifah remaja begitu gigih dalam menuntut ilmu. Di usia 16 tahun, ia telah pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji sekaligus belajar agama dari para ulama. Tercatat selama hidupnya ia telah belajar pada 4000 ulama dari kalangan sahabat, tabiin, dan tabiat tabiin.

Abu Hanifah dikenal oleh orang-orang di zamannya sebagai pemuda yang memiliki kekuatan dalam berhujjah, daya tangkap cepat, cerdas, dan berwawasan tajam. Imam Malik mengakui kecerdasannya ini pada suatu peristiwa.

Saat itu Abu Hanifah menjumpai Imam Malik. Saat ia telah selesai dan berlalu, Imam Malik bertanya pada para sahabat "tahukah kalian siapa dia? Dialah Numan bin Tsabit, yang seandainya ia katakan tiang masjid itu emas, perkatannya menjadi argumen yang dipakai orang-orang.”

Numan bin Tsabit dikenal dengan cara pengajarannya yang memberikan penjelasan menggunakan logika yang mudah dipahami. Hal ini pula yang kemudian membuatnya menjadi ahli fikih kota Irak dan pemimpin ahli ra'yi (kelompok ulama yang banyak menggunakan dalil qiyas).

Suatu ketika Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi al-Khaliq. Ia kemudian berdiskusi dan memberikan penjelasan dengan nalarnya yang membuat atheis tersebut tak dapat berkata-kata.

“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal dipenuhi dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera dengan gelombang kecil dan angin yang tenang. Akan tetapi, setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana dan tanpa goncangan atau berbelok arah. Padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?”

Mereka para atheis itu berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun.”

Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi. Namun kalian membenarkan adanya alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”

Ibnu Mubarak pernah menyebutkan bahwa tak ada orang yang lebih hebat dalam fikih dan yang paling wara melebihi Abu Hanifah. Kewara’an ini tampak saat ia diminta menjadi hakim oleh gubernur tetapi ia menolak. Penolakan ini akhirnya menggiring Abu Hanifah dipenjara di masa otoritas Umayyah dan Abbasiah.

Hingga wafatnya pun ia berwasiat untuk dimakamkan di tanah yang baik dan jauh dari tempat-tempat berstatus syubhat dan bukan tanah hasil ghashab (secara bahasa bermakna mengambil sesuatu secara zalim atau penguasaan (perampasan) terhadap hak orang lain secara tidak benar).

Abu Hanifah akhirnya wafat di Baghdad pada tahun 150H dalam usia 70tahun. Ia berwasiat agar dimandikan oleh al Hasan bin Amarah. Ibnu amarah pun berkata saat selesai memandikan jenazahnya: semoga Allah merahmati engkau, semoga allah mengampuni dosa engkau karena segala jasa yang engkau perbuat, sungguh engkau tidak pernah putus shaum selama 30 tahun, tidak berbantal saat tidur selama 40 tahun, dan kepergian engkau memberikan kesedihan mendalam bagi para fuqaha setelah engkau.

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “enam kelompok besar penduduk Baghdad menyolatkan jenazah Abu Hanifah secara bergantian dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”

Hingga kini buah pemikiran dan dasar-dasar ijtihadnya menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dengan sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.