“…Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali hamba-hamba Ku yang berterima kasih” (QS. Saba’: 13).

Allah tidak pernah melarang kita untuk mencari penghidupan di bumi. Allah justru menyuruh kita bertebaran di muka bumi untuk mencari benih-benih rezeki, melakukan usaha terbaik untuk hasil yang baik.

Dalam Islam bekerja adalah sebuah anjuran. Bahkan Allah menyuruh kita bekerja lagi setelah selesai dari satu pekerjaan. “Maka apabila kamu telah selesai dari suatu pekerjaan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (QS. Al-Insyirah: 7).

Semua ini menunjukkan bahwa kita tidak disuruh bermalas-malasan dan harus berusaha untuk hidup kita. Menariknya adalah dimana Allah tidak menyuruh kita sekedar bekerja dan bisa hidup, tapi ada poin lain yang diinginkan: Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah).

Bersyukur. Dalam Islam kita bekerja, kita berusaha, semuanya tidak lain ditujukan untuk bersyukur.

Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah menyebutkan: “syukur ialah terlihatnya tanda-tanda nikmat Allah pada lidah hamba-Nya dalam bentuk pujian, di hatinya dalam bentuk cinta kepada-Nya, dan pada organ tubuh dalam bentuk taat dan tunduk.”

Syukur banyak disalahartikan hanya semata menyebutkan rasa terima kasih dan pujian pada Allah melalui lisan. Padahal syukur tak sekedar urusan perkataan. Syukur dibuktikan dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.

Syukur dengan perkataan adalah tahapan pertama. Saat kita mendapatkan rezeki atau harta dan kemudian langsung terucap dzikir pada-Nya dan memuji kebesaran-Nya. Rasa bahagia dan ingat Allah di saat itu juga menunjukkan syukur kita yang diiringi dengan perkataan.

Syukur dengan perbuatan adalah tahap kedua. Kita diminta mengeluarkan sebagian dari yang kita dapatkan untuk orang lain. Kebahagiaan kita disyukuri dengan berbagi dan membuat orang lain juga bersyukur, sebuah rantai panjang syukur yang sangat indah.

Syukur dengan keyakinan adalah tahap ketiga. Saat hati kita, ibadah, keimanan, berpadu selalu semakin menjadi dalam terhadap-Nya. Kita semakin tunduk pada Allah. Semakin khusyu’ dan istiqomah dalam ibadah. Terus-menerus menambah kerendahan diri dihadapan-Nya.

Sahabat bertanya pada rasul saat menemukan rasul yang kakinya bengkak akibat sholat yang terus menerus dan lama. “Engkau masih berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa silammu dan dosa-dosamu pada masa mendatang.” Rasulullah SAW berkata, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Ibadah yang benar dengan segala kerendahan diri adalah bentuk syukur yang juga dikehendaki. Kita tidak hanya berhenti bersyukur pada lisan. Tapi hati dan pikiran serta jiwa juga bersyukur seluruhnya.

Ingatlah, bahwa segala yang ada pada kita hanyalah titipan-Nya. Bahwa segala usaha kita tidak lain karena ada Allah yang menyaksikan. Maka, tidak pantas bagi kita menjadi sombong setelah mendapatkan sedikit saja dari kemurahan-Nya. Bukankah mudah bagi Allah mengambil habis semua yang kita punya dengan bencana sepersekian detik saja?

Masihkah kita merasa tidak perlu bersyukur?