Ada banyak surat di dalam Al-Qur’an yang membahas mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan di dalam Al-Qur’an kadang disebutkan secara eksplisit dan terkadang tersirat. Adapun istilah kebahagiaan yang paling komprehensif ialah “Al-Falah” dan “Al-Muflihun", bahwa orang yang bertakwa identik dengan orang yang berbahagia dan meraih kemenangan.
Untuk cirinya sendiri dari kebahagiaan ini dapat kita temukan pada surat Al-Baqarah: ayat 2-5
Yang artinya: "(2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (4) dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (5) Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung."
Di ayat ini dijelaskan bagaimana kebahagiaan itu secara komprehensif dijabarkan dalam beberapa tindakan, yakni; beriman pada yang gaib, menegakkan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, dilengkapi dengan beriman kepada kitab suci serta keyakinan pada hari akhir.
Dalam berbagai kisah dijelaskan bagaimana kepedulian kaum Muhajirin yang begitu tinggi kepada kaum Anshar. Mereka lebih memedulikan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Hasilnya? Kaum Muhajirin hidup dengan nyaman dan bahagia. Ini menunjukkan bahwa menuju bahagia selalu berhubungan dengan pihak lain, entah itu dengan Allah ataupun manusia.
Lalu bagaimana Islam mengukur kebahagiaan?
Tolak ukur kebahagiaan dalam Islam adalah kedekatan dengan Allah. Pencapaian kedekatan pada Allah hanya dialami oleh orang yang berjuang untuk mengamalkan seluruh aspek ajaran Islam. Maka, konsekuensi logis untuk menjadi pribadi berbahagia menurut Islam adalah mengamalkan seluruh ajaran Islam di dalam kehidupan.
Orang yang berbahagia dalam Islam, tidak peduli betapapun beratnya ujian yang dihadapi. Sebab sehebat apapun ujian yang dihadapi mereka selalu mendekatkan diri pada Allah. Karena telah terjalin tali batin antara mereka dengan Allah.
Al-Qur’an menyebutkan lima karakter negatif yang ada pada manusia; dalam surat Al-Maarij:19-21 dijelaskan tiga ciri yakni gelisah, berkeluh kesah, dan pelit/ kikir/ mementingan diri sendiri. Lalu, di surat Annisa:28 dijelaskan ciri lainnya yaitu lemah pendirian, terakhir di surat Al-Isra:15 disebutkan ciri tergesa-gesa. Ciri-ciri ini adalah lawan dari bahagia. Jika seseorang memilikinya, maka ini bisa menutup kebahagiaan dalam hidupnya.
Bagaimana dengan kebahagiaan dan kaitannya dengan harta?
Harta dalam Islam adalah sesuatu yang selayaknya disyukuri. Harta bisa menjadi ladang bagi kita menuju kebahagiaan seperti yang sebelumnya disebutkan dalam surat Al-Baqarah di awal.
Cara mensyukuri dan meraih kebahagiaan lewat harta adalah dengan menggunakannya untuk kepentingan sosial bukan hanya dikonsumsi bagi diri sendiri. Timbulnya perasaan memiliki tanggung jawab sosial atas harta adalah bentuk rahmat Allah yang mesti disyukuri.
Harta adalah salah satu alat untuk berjihad. Dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa sebenarnya diri kita dan harta yang dimiliki adalah karunia milik Allah. Namun, Allah menghargai hal itu dengan menghitungnya sebagai suatu lahan perdagangan dengan Allah.
Bagaimana bentuk perdagangan dengan Allah? Yakni dengan Beriman pada Allah, pada Rasul, dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan juga diri. Inilah empat perdagangan yang menyelamatkan dari siksa yang pedih serta pintu meraih kebahagiaan dalam Islam.
Disarikan dari Talkshow Ibadah dengan Harta
Oleh Samsoe Basaroedin
Dewan Syariah Rumah Amal Salman dan Dosen Ekonomi Syariah