“..Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Buruj: 4-9).
Ayat di atas mengabadikan kisah yang dikenal dengan ashabul ukhdud, orang-orang yang ada di dalam parit. Kisah ini dijelaskan oleh Rasul dalam sebuah hadits panjang bagaimana akhirnya orang-orang beriman mempertahankan keimanannya dan memilih di bakar hidup-hidup di dalam parit.
Semua bermula dari suatu zaman yang dipimpin oleh seorang raja yang dzalim. Ia memiliki seorang tukang sihir andalan yang telah memasuki usia senja. Tukang sihir itu memohon kepada raja agar dikirimkan seorang pemuda untuk mewariskan ilmu sihir darinya. Pinta itu dikabulkan.
Dalam perjalanannya menuju tukang sihir, sang pemuda bertemu dengan seorang rahib yang mengajarkan padanya tentang ilhiyat, ketuhanan. Ia merasa takjub tapi di satu sisi harus tetap mempelajari ilmu sihir.
Suatu ketika saat ia dalam perjalanan untuk belajar sihir, di tengah jalan terdapat binatang besar yang menghalangi orang-orang yang sedang lewat. Ia pun ingin memastikan keraguan hatinya. Ia berkata “jika aku lempar batu pada binatang itu dan dia mati, berarti rahib tersebut benar perkataannya tentang ketuhanan. Tapi jika tidak mati, maka benarlah tukang sihir dan ilmunya”.
Binatang itu tewas. Sang pemuda akhirnya percaya akan ketuhanan. Dan ujian keimanan pun dimulai.
Keimanannya yang kuat, membuat ia mampu mendoakan banyak orang hingga sembuhlah mereka dari penyakit kebutaan. Hal itu terdengar oleh salah satu sahabat raja yang buta. Pemuda itu lantas mengatakan bahwa bukan dia yang menyembuhkan tapi Allah. Sahabat raja akhirnya beriman dan ia sembuh.
Tak butuh waktu lama hingga pemuda itu diketahui oleh raja telah menuhankan selain dia. Raja geram. Ia melakukan segala cara untuk memusnahkan pemuda itu. Mulai dari dijatuhkan dari bukit yang tinggi dan ditenggelamkan di laut. Semua gagal karena Allah lebih dulu menghukum pasukan raja dan menyelamatkan sang pemuda.
Hingga pemuda itu mengatakan pada raja cara membunuh dirinya dengan syarat. “Kumpulkanlah rakyatmu di bukit. Lalu saliblah aku di atas sebuah pelepah. Kemudian ambillah anak panah dari tempat panahku, lalu ucapkanlah, “Bismillah robbil ghulam, artinya: dengan menyebut nama Allah Tuhan dari pemuda ini.”
Perkataan itupun dilakukan oleh raja. Rakyat berkumpul menyaksikannya. Benarlah, pemuda itu akhirnya wafat. Dan tak disangka, rakyat yang menyaksikan justru berbondong-bondong beriman. “Kami beriman pada Tuhan pemuda tersebut.”
Raja semakin geram dan apa yang ia takutkan terjadi. Ia kemudian memerintahkan pasukannya membuat parit di jalanan dan dinyalakan api di dalamnya.
Orang-orang yang beriman itu ditawarkan dua pilihan, kembali seperti sebelumnya atau masuk ke parit bersama keimanan itu. Mereka mengambil opsi kedua, terjun ke parit dan dibakar hidup-hidup demi keimanan.
Hingga seorang wanita dan bayinya hendak masuk ke parit tapi sang wanita merasa ragu. Dan berkatalah anaknya, “Wahai ibu, bersabarlah karena engkau di atas kebenaran.” Dan mereka pun memilih dibakar dalam parit.
Kisah ini mengajarkan begitu banyak hikmah pada kita. Lebih berat rasanya, ujian yang mereka hadapi dahulu tapi hati mereka tak goyah. Mereka begitu yakin dan berpegang pada Allah hingga ujian dibakar itupun menjadi pilihan yang diambil.
Maka selayaknya kita mengecek kembali keimanan kita. Berdoalah selalu agar dikuatkan dalam keimanan kepada-Nya. Serta berusahalah untuk terus meningkatkan iman itu dengan amal-amal shalih.